Ketika
orang awam diajak bicara dan kemudian ditawari produk asuransi tidak jarang
impresi yang didapati adalah senyum sinis seseorang dengan sosok raut muka yang
penuh keterpaksaan. Bukan hal aneh kalau impresi semacam itu sebenarnya
terbentuk karena pengaruh stereotype agen asuransi jiwa di masa lalu yang
identik dengan sosok individu yang terkesan kurang akomodatif terhadap
nasabahnya.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa grafik kehidupan kita mengalami pasang surut. Apa yang
akan terjadi besok pagi, bahkan 1 detik di masa depan tidak ada yang tahu.
Hanya Tuhan yang tahu. Dengan kata lain, kehidupan kita akan mengalami risiko
yang tidak terduga. Risiko tersebut dapat berupa beban risiko atas diri
sendiri, keluarga, maupun harta yang kita miliki.
Kita
tidak menyadari atau menyangka bahwa keadaan yang awalnya tampak cerah atau
tanpa ada hambatan tentang harta dan diri serta keluarga yang ada di sekeliling
kita seketika berubah menjadi musibah dan sukar dikendalikan. Betapa hancur
kita dan sangat sia-sia jika peristiwa yang terjadi di luar kendali kita
seperti penyakit kecelakaan, banjir, kebakaran, dan huru-hara menghanguskan
hasil kerja keras yang kita peroleh hilang dalam sekelip mata.
Apalagi
kondisi ketidakstabilan perekonomian menambah risau kehidupan kita. Nilai
rupiah terhadap dollar yang melemah. Inflasi yang semakin meninggi dan ditambah lagi biaya hidup yang semakin
mahal, khususnya biaya penanganan kesehatan membuat nyawa manusia tidak lagi
berharga.
Hanya
golongan orang kaya yang punya banyak uang yang bisa membantu dalam mengatasi
biaya perawatan kesehatan. Selain itu, biaya pendidikan pun semakin tidak
terkendali. Biaya masuk sekaolah tinggi atau kuliah semakin di luar kemampuan
kita.
Bukan
hanya itu, kondisi kesehatan kita juga semakin berkurang seiring dengan
bertambahnya usia. Jika saat ini masih bisa bekerja, belum tentu besok kita
bisa bekerja. Karena penyakit bisa dating tiba-tiba. Musibah atau kecelakaan
yang menimpa diri kita atau keluarga kita tidak meminta ijin atau mengetuk
pintu terlebih dahulu.
Kondisi
di atas adalah sekelumit kondisi yang harus kita hadapi. Hal itulah yang
menyebabkan perlu adanya perlindungan yang mampu menajamin kehidupan kita.
Salah satu solusi yang bisa kita lakukan adalah dengan memiliki program
asuransi.
Faktor
yang menyebabkan masyarakat menjadi minim untuk berasuransi antara lain:
Tingkat Kesejahteraan atau Pendapatan
Masyarakat yang Rendah
Menjadikan
asuransi belum sebuah kebutuhan atau gaya hidup (lifestyle). Karena masih banyak kebutuhan
lain yang lebih mendesak menyisihkan sebagian pendapatannya untuk keperluan
proteksi buat diri sendiri, keluarga dan harta bendanya. Apalagi, jika sebagai
instrumen investasi masih terlalu jauh untuk dipikirkan. Itulah sebabnya,
menyisihkan sebagian pengeluaran untuk pembayaran premi yang identik dengan
menabung tidak mampu dianggarkan.
Faktor Budaya
Banyak yang berpikir bahwa masa depan urusan nanti, yang
terpenting adalah memenuhi kebutuhan sekarang. Hal ini pun bisa mempengaruhi
kesadaran masyarakat akan pentingnya berasuransi.
Apalagi, banyak orang tua umumnya masih menyandarkan harapannya
terhadap anak-anaknya. Anak seolah-olah dianggap sebagai “asset” sehingga
kemandirian hidup hingga usia senja kurang dipersiapkan.
Jika kita membayangkan bahwa dirinya kelak menjadi tua dan
anaknya tak bisa merawatnya karena kesibukannya atau perekonomian keluarganya
kurang mampu, tentu sejak dini akan terpacu untuk memiliki asuransi.
Sosialisasi Tentang Asuransi
Kapasitas
dunia usaha mengenai pentingnya berasuransi yang masih tergolong rendah
menyebabkan upaya melakukan edukasi kepada publik masih terbatas mengenai melek
finansial (financial
literary).
Padahal, sosialisasi tentang pemahaman dan pengetahuan
sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang asuransi. Agar
pengetahuan masyarakat tentang asuransi mampu terdongkrak. Masyarakat Indonesia
mungkin sudah mengenal asuransi, tapi belum merasa butuh atau perlu membeli
asuransi. Sikap ini bisa saja dipengaruhi oleh persepsi bahwa asuransi itu
adalah “bisnis janji”.
Kita membeli produk asuransi tetapi manfaatnya baru
dirasakan nanti. Bahkan bisa saja klaim asuransi tidak terjadi jika kita
baik-baik saja, atau tidak mengalami musibah yang diproteksi oleh jasa
asuransi. Masih sangat sedikit masyarakat yang datang ke kantor asuransi untuk
menyatakan kesediaannya menjadi pemegang polis. Masyarakat mau datang ke kantor
asuransi jika ada petugas atau agen asuransi yang memberi penjelasan kemudian
menawarkan jasa proteksinya.
Infrastruktur Perasuransian
kita menyadari bahwa kantor-kantor cabang, cabang pembantu atau
unit perbankan sudah masuk sampai wilayah kecamatan yang menyebabkan masyarakat
sangat mengenal dunia perbankan. Sedangkan kantor cabang atau agen perusahaan
asuransi masih jarang, bahkan baru menjangkau ibu kota provinsi di seluruh
Indonesia.
Jika ada yang telah menembus pasar di tingkat ibu kota kabupaten
masih bisa dihitung dengan jari. Hal ini memberikan sinyal bahwa keberadaan
perusahaan asuransi masih jauh tertinggal di bandingkan perusahaan perbankan.
Akhirnya, masyarakat pun masih awam atau minim tentang asuransi. Imbasnya pengetahuan
tentang pentingnya berasuransi masih menjadi hal baru.
Sumber
Artikel: